PAI_Al Muchtadi_12173353

Nama : Al Muchtadi

Nim    : 12173353

Kelas  : 12.6A.09

PERTEMUAN 13 

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


PANDANGAN ISLAM TENTANG ZAKAT DAN PAJAK

Secara Harifah zakat berarti tumbuh,berkembang, subur atau bertambah. Adapun  menurut pengertian syara', zakat berarti mengeluarkan kadar tertentu dari harta tertentu, menurut sifat-sifat tertentu untuk diberikan  kepada golongan  tertentu. Sedangkan  pajak menurut istilah adalah " pungutan  yang ditarik dari rakyat oleh para penarik pajak".

Adapun menurut ahli bahasa, pajak adalah "Suatu pembayaran yang dilakukan kepada pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran  yang dilakukan dalam  hal menyelenggarakan  jasa-jasa untuk kepentingan  umum". Zakat merupakan  pilar utama dalam sistem keuangan Islam sekaligus sebagai instrumen utama dalam  kebijakan  fiskal Islam.  Zakat merupakan  rukun Islam dan  salah satu bentuk kewajiban bagi seorang Muslim untuk mengeluarkan sebagian  pendapatan atau hatanya yang telah memenuhi syarat dan ketentuan yang telah di gariskan.

Zakat merupakan suatu lembaga yang unik yang tidak sama dengan pajak-pajak yang di tetapkan oleh suatu  Negara. Hal ini di karenakan zakat merupakan  suatu pajak atas kekayaan dan  bukan atas pemasukan, dikumpulkan dari orang  kaya dan di gunakan untuk orang  miskin, asuransi  sosial  yang komprehensif, dibagikan pertama  kepada lingkungan  terdekat, dengan peraturan  yang di tentukan  oleh Rasulullah, hukum dan sistem operasionalnya sederhana. [ Isnaini Harahap, Yenni Samri Juliati Nasution, Marliyah, Rahmi Syahriza, 2015: Hlm. 237]

Abu Bakar Ash-Shidiq ketika memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat beliau berkata, "Demi Allah! Seandainya mereka tidak mau membayar seekor anak kambing betina yang dahulu mereka bayarkan kepada Rasulullah. Sungguh, aku akan memerangi mereka karenanya." (HR. Al-Bukhari dalam shahihnya). [Abu Bakar Jabir Al-Jaza'iri, 2008: Hlm.463]

Zakat dalam ajaran Islam terbagi dalam dua kategori, yaitu Zakat Fitrah (jiwa) yang di bayarkan pada malam hari raya Idul Fitri dan Zakat Mal (harta) yang di bayarkan setiap waktu dalam satu tahun. Kedua jenis zakat ini memiliki fungsi teologis. Zakat Fitrah berfungsi menyempurnakan puasa di bulan Ramadhan, sedangkan Zakat Mal berfungsi menyucikan harta jiwa selama setahun. Selain fungsi teologis, Zakat mempunyai fungsi pagmatis, yaitu sebagai sarana pemberdayaan ekonomi rakyat serta pencapaian keadilan sosial. [Isnaini Harahap, Yenni Samri Juliati Nasution, Marliyah, Rahmi Syahriza, 2015: Hlm.238]
Pengenaan pajak di lakukan dari sisa  nafkah (setelah di kurangi kebutuhan hidup). Jumlah pajak yang di pungut secara makro harus ekuivalen dengan jumlaj kebutuhan Baitul Mal yang di gunakan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban Baitul Mal, sehingga pajak tidak boleh di pungut melebihi kebutuhan sebagaimana mestinya. Kemudian jika kebutuhan Baitul Mal telah terpenuhi dan Baitul Mal sudah mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya dari sumber-sumber penerimaan rutin, maka pungutan pajak harus di hentikan.kita perlu membedakan antara dua jenis pajak yang dinamakan oleh sebagian ahli fikih dari kalangan Malikiyah dengan “al-wazha-if” atau “al-kharraj“; dan di kalangan ulama Hanafiyah dinamakan dengan “an-nawa-ib“, yaitu pengganti pajak perorangan dari Sulthan; sedangkan di sebagian ulama Hanabilah dinamakan dengan “al-kalf as-sulthaniyah“, kedua jenis pajak ini terbagi menjadi :

  1. Pajak yang diambil secara ‘adil dan memenuhi berbagai syaratnya.
  2. Pajak yang diambil secara zhalim dan melampaui batas.

Pajak yang diwajibkan oleh penguasa muslim karena keadaan darurat untuk memenuhi kebutuhan negara atau untuk mencegah kerugian yang menimpa, sedangkan perbendaharaan negara tidak cukup dan tidak dapat menutupi biaya kebutuhan tersebut, maka dalam kondisi demikian ulama telah memfatwakan bolehnya menetapkan pajak atas orang-orang kaya dalam rangka menerapkan mashalih al-mursalah dan berdasarkan kaidah “tafwit adnaa al-mashlahatain tahshilan li a’laahuma” (sengaja tidak mengambil mashlahat yang lebih kecil dalam rangka memperoleh mashalat yang lebih besar) dan “yatahammalu adl-dlarar al-khaas li daf’i dlararin ‘aam” (menanggung kerugian yang lebih ringan dalam rangka menolak kerugian yang lebih besar).

Pendapat ini juga didukung oleh Abu Hamid al-Ghazali dalam al-Mustashfa dan asy-Syatibhi dalam al-I’tisham ketika mengemukakan bahwa jika kas Bait al-Maal kosong sedangkan kebutuhan pasukan bertambah, maka imam boleh menetapkan retribusi yang sesuai atas orang-orang kaya. Sudah diketahui bahwa berjihad dengan harta diwajibkan kepada kaum muslimin dan merupakan kewajiban yang lain di samping kewajiban zakat.

Komentar

Postingan Populer